Hilang atau Pulang?

Hilang atau Pulang?

Oleh: Azrah Naifah Istiazah 

Katanya, yang tidak ditakdirkan untukmu akan menemukan caranya untuk hilang. Yang ditakdirkan untukmu, akan menemukan jalannya untuk pulang. Lantas apakah perginya separuh hidupku juga termasuk pulang; pulang kepada sebenar-benarnya Pemilik Takdir? 

Namaku Serena, diambil dari bahasa latin yang berarti tenang dan damai. Cantik, bukan? Dan lihatlah diriku sekarang, aku tumbuh menjadi pribadi yang tenang dan damai, seperti keinginan Ayah. 

Hari ini adalah ulang tahun Ayah. Dan, esok adalah hari ulang tahunku. Kami biasa merayakannya bersama, seperti hari ini. Di ruang keluarga, Ibu, Kakak, serta Adikku tengah berkumpul menunggu kepulangan Ayah. Tentu saja denganku yang sibuk memperhatikan kue buatan Ibu yang tersaji megah di tengah-tengah kami. 

Aku tersenyum menatap lilin berbentuk angka 50 yang belum dinyalakan di atas kue itu. Sebelum sang Kakak menginterupsi dengan sentuhan halus dipundakku . “Apa yang akan Kau lakukan dengan Ayah untuk merayakan ulang tahun kalian kali ini?” Tanyanya pelan. 

“Aku telah selesai membaca buku yang Ayah beri minggu lalu. Mungkin seperti tahuntahun sebelumnya, kami akan duduk di taman belakang, dengan secangkir teh buatan Ibu dan beberapa camilan lainnya, kemudian bersama-sama membedah buku tersebut.” Kakak mengangguk pelan. Lalu obrolan kami terhenti saat mendengar suara mobil memasuki pekarangan rumah.  

“Itu Ayah!” Seru adik-ku dengan penuh semangat. 

Gadis kecil itu berlari menjemput sang Ayah di depan. Kemudian Ibu dan Kakak sibuk dengan kue kejutan untuk Ayah, sedang Aku berlari kembali ke kamar. Dengan gerakan cepat Aku menyambar buku cetak yang tergeletak di atas kasur. Itu adalah novel pertama yang Aku terbitkan diam-diam sebagai hadiah ulang tahun Ayah yang ke-50. Karena dulu Aku pernah berjanji akan menjadikan Ayah sebagai pembaca pertama novel yang kuterbitkan. Sebagai ungkapan terima kasih, karena Ia telah membawa gadis ceroboh nan labil ini masuk ke dalam dunia bacanya yang indah. 

Ketika Aku turun, seluruh keluarga telah berkumpul di tengah. Aku tertawa kecil melihat Ayah yang sedikit kesusahan menggendong adik yang telah bertumbuh itu. Kuhampiri sang Ayah dan memeluknya erat ketika ia merentangkan tangannya untuk menyambut-ku. “Look, I have a special gift for you,” bisikku pada sang Ayah. Kami mengurai pelukan haru tersebut, Aku merunduk untuk mengambil novel yang tak sengaja terjatuh ke lantai saat kami berpelukan. 

Tetapi gerakanku terhenti sesaat, Aku terhenyak ketika sekelebat memori memenuhi kepalaku. Bayangan saat sebuah mobil memasuki pekarangan rumah, tetapi itu bukan mobil Ayah. Lalu ada gambaran ibuku yang berdiri mematung diteras rumah, dengan Kakak yang merangkul pundaknya erat. Kemudian sang adik yang turut berdiri merapat ke ibuku dengan wajahnya yang berusaha mencerna suasana yang ada. 

Suara sirine ambulan menyentakku, menarik atensiku untuk kembali ke dunia nyata. Belasan orang telah berkumpul disekitar mobil ambulan tersebut. Tak lama setelahnya sebuah kasur medis keluar dengan seseorang-yang sangat kukenali parasnya-terbaring lemah tak berdaya di atas kasur tersebut. Kuremat kuat-kuat tanganku, air mata yang bergumul dipelupuk mata kutahan mati-matian agar tidak menetes. Tidak mungkin, itu pasti bukan ayah, bisikku dalam hati. 

Jauh didepan, Ibu sudah meraung dalam pelukan kakak. Tangisan pilunya menyayat hatiku. Adik telah menghilang dibawa oleh saudaraku agar ia tak melihat  adegan memilukan dipelataran rumah kami. Wajah Kakak memerah menahan tangis, sedang Aku akhirnya meloloskan setetes air mata. Biarkan sekali ini saja aku keluarkan seluruh perasaanku, hingga terkubur bersama seluruh bayang-bayang Ayah dan biarlah semua menjadi kenangan yang terukir abadi didalam hati. 

“Serena.” 

Aku tersentak ketika sebuah tangan mengayun di depan wajahku. Ku tolehkan kepalaku ke samping kanan tempat Kakakku berdiri saat ini. “Ah, Aku melamun.” Balasku. Kuseka pelan air mata yang ikut menetes saat alam bawah sadarku tadi tengah terlempar kembali ke masa penuh kepiluan itu. 

“Ayo bersiap, akad akan segera dimulai.” 

Aku mengangguk, menatap nanar novel yang kini tengah kugenggam erat. Nyata-nya, Ayah tidak pernah pulang hari itu, pula dengan novel pertama-ku yang tak pernah sampai ke tangan Ayah. Kecelakaan tak terhindarkan ketika beliau pulang dari kantor-nya, hujan di sore Oktober itu mengambil nafas terakhirnya. 

Dan semua tak berhenti sampai disitu. Satu tahun setelah kepergian Ayah, ibu menyatakan dirinya lelah.  Hidup tanpa pasangan hati merenggut hari-hari bahagianya. Hingga akhirnya Ibu turut meninggalkan kami dengan kesedihan yang tak berkesudahan. Tinggallah Kakak, Aku, dan Adik yang kembali melanjutkan hidup dengan ego kami masing-masing. 

Setelah hidup terpisah memang kami memilih untuk bertahan hidup dengan cara masingmasing. Kakak melanjutkan hidupnya di luar kota bersama keluarga kecilnya. Sedangkan adikkuyang kini menjadi mahasiswi di kampus tempat Ayah dan Ibu bertemu dulu-memilih mendekam sepanjang hari di kost ternyamannya itu. Sesekali keluar hanya untuk berburu foto yang menjadi hobinya sejak kecil. 

Dan Aku memilih untuk melanjutkan karir Ayah. Selesai dari pendidikan jenjang tertinggi, Aku memilih untuk melamar bekerja dikantor tempat Ayah bekerja dulu sebagai editor disebuah perusahaan penerbitan. Kubuktikan kepada Ayah bahwa aku benar-benar mengamalkan ilmunya. Disamping itu aku juga kembali menulis kisah hidupku. Aku ingin semua orang tau dan turut merasakan seberapa penting peran Ayah dalam hidupku.  

Pernah satu waktu Aku, Kakak, dan Adik memutuskan untuk berziarah ke makam orangtua kami bersama-sama. Didepan makam, kami sama-sama diam. Tak ada satupun yang bersuara, semua memilih berdoa didalam hati. Helaan nafas yang panjang dari Kakak menginterupsi Aku dan Adik. Tatapannya sendu, mungkin ia benar-benar rindu. Karena sejak dahulu Kakak tak pernah memperlihatkan kesedihannya dihadapan kami. 

“Apa yang kalian pahami dari kata-kata ‘tumbuh ditengah duka’?” Tanyanya dengan harapan penuh kami akan menjawab dengan jawaban yang serius. 

“Dalam kesedihan ada kekuatan yang tak terduga, juga sebuah keindahan yang lahir dari kerapuhan. Dan kehidupan adalah ladang yang subur, di mana duka dan harapan saling bergelut, menghasilkan keindahan yang tak terduga. Duka yang selama ini kita rasakan itu menjadi pupuk untuk menumbuhkan segala kebahagiaan dimasa depan.” 

Maka hari ini, kupanen kebahagiaan yang dulu aku beri pupuk dengan duka. Bertemu dengan lelaki yang akan menggantikan peran Ayah, juga membantuku merangkai kisah penuh warna baru dimasa yang akan datang. Kusimpan rapat segala kenangan penuh laraku itu untuk dijadikan  kisah pelik penuh makna bagi anak-anakku nanti. Agar mereka melihat how their mother has grown with a grief

“Ayah, hari ini ada lelaki yang akan mengambil alih tanggung jawabmu. Yang akan membedah buku bersamaku setiap harinya, juga membelikanku segudang buku bacaan yang akan kami baca bersama setiap malam hari, seperti hal-nya kita dahulu. Yah, Thank you for the first love you gave me, and let this man be my last love, okay?” 

Bahkan rindu yang kita rasakan saat ini adalah rindu yang tidak akan pernah dimengerti oleh siapapun; tidak pula oleh mereka yang mungkin pernah berada di bawah atap yang sama. Bahkan rasa rindu yang kita rasakan saat ini adalah rindu yang tidak akan pernah ada habisnya. Setelah badai yang tinggi, setelah guncangan yang besar, dan setelah kemarau yang panjang; rindunya masih ada, cintanya masih dalam, bahkan lebih dari sebelumnya. 

Dan bahkan rasa rindu yang kita rasakan saat ini adalah rindu yang paling menyakitkan sekaligus menyenangkan. Begitu menyakitkan karena banyak yang hilang; pun banyak yang pergi sampai lupa canda macam apa yang dulu pernah kita tertawakan bersama. Tetapi juga begitu menyenangkan, melihat sehebat itu dunia dibolak-balikkan, nyatanya kita masih bersama dengan jiwa yang saling menggenggam, meski raga tak lagi ber-sua.