Oleh: Anggi Agusti
Dogma, doktrin dan iman selalu menjadi bahan diskusi yang menarik untuk dibahas. Perbincangan seputar term-term tersebut kerap kali melahirkan pertanyaan yang memunculkan pergulatan intelektual antarpara pemikir Islam, filsuf dan akademisi lainnya. Hal ini disebabkan istilah-istilah itu diklaim bercokol kuat dalam agama dan tidak memiliki standardisasi ilmiah. Penggunaan kata “ilmiah” berarti kesimpulan atas dasar ilmu pengetahuan atau konklusi yang memenuhi syarat dan kaidah keilmuan. Pengertian demikian acapkali dijadikan bukti bahwa agama tidak rasional, sebab ia hanya berasaskan pada keyakinan-keyakinan.
Betrand Russel adalah salah satu filsuf modern yang berpandangan bahwa agama hanyalah dogma, karena dapat menyebabkan kejumudan dalam berpikir. Dalam artian, agama menjadi pemicu kemandekan berpikir secara bebas bagi seseorang dalam merespons fenomena yang ada. Corak berpikir seperti inilah yang disebut dogmatisme. Dalam bukunya, Why I am not a Cristhian, dogmatisme dimaknai sebagai “The conviction that it is important to believe this or that, even if a free inquiry would not support the belief” (Keyakinan untuk selalu mempercayai segala hal, meski penelaahan bebas tidak mendukung kepercayaan tersebut).
Dalam definisi tersebut, Russel mengelompokkan dogma atas dua hal, yaitu keyakinan dan sikap. Jelasnya, keyakinan mutlak disertai sikap statis seseorang terhadap apa yang ia ikuti dan percaya, baik secara tradisi, warisan dan hal serupa lainnya, meski ada perbedaan atas keyakinan yang berlandaskan basis ilmiah (even if a free inquiry would not support the belief). Akan tetapi, Russel tidak memberikan penjelasan khusus maksud dari penelitian bebas atas dasar kaidah ilmiah. Demikian juga dengan kesimpulan apakah keyakinan itu sudah teruji secara ilmiah atau belum. Ia hanya mendaku bahwa agama adalah dogma.
Untuk mengatasi dogma yang mengakibatkan kebekuan berpikir, Russel menawarkan tiga solusi. Pertama, penanaman cara pandang kritis yang bisa menakar sebuah dalil. Salah satunya disebut dengan The idea of weight of evidence (gagasan tentang bobot bukti). Yakni, pembiasaan untuk tidak menerima sebuah pernyataan yang tidak didasarkan pada bukti. Kedua, aksentuasi hasil sebuah analisis itu hipotesisnya lebih akurat daripada kadar keimanan. Artinya, kecenderungan agar selalu skeptis terhadap segala sesuatu. Ketiga, kebebasan berpikir harus ditopang dengan pengkajian yang jujur, objektif dan adil mengenai kebenaran-kebenaran baru.
Definisi dan jalan keluar tersebut merupakan satu dari sekian klaim yang sering dijadikan tuduhan bahwa agama tidak ilmiah, rasional dan membumi. Anggapan ini jika dikaitkan kepada agama samawi lainnya mungkin saja benar. Akan tetapi, apabila dakwaan itu dijatuhkan pada Islam, tentu sangat keliru dan tidak tepat. Sebagaimana yang kita ketahui, Islam mempunyai argumen-argumen rasional atas ajaran-ajaran yang dibawanya. Burhan-burhan ini diperkuat oleh al-Buthi dalam karanganya yang berjudul ad-Din wal-Falsafah terkait hal keimanan. Dalam bukunya, al-Buthi menyebutkan Islam selalu memposisikan keimanan sebagai hasil dari pikiran yang disandarkan pada metodelogi ilmiah.
Keilmiahan ini terbukti dengan makna keimanan yang banyak diulas dalam kitab-kitab tauhid. Salah satunya keimanan dengan arti pembenaran bersifat pasti terhadap perkara yang sesuai dengan realita dan berdasarkan dalil-dalil akli maupun naqli. Sedangkan al-Buthi mendefinisikan iman sebagai penerimaan akal secara penuh terhadap seluruh kebenaran yang ada pada keimanan itu sendiri. Dari dua pengertian ini, dapat disimpulkan bahwa posisi keimanan dalam Islam tidak sekedar keyakinan dan percaya atas sesuatu atau perintah yang telah wujud, melainkan juga harus didukung dengan akal.
Selain itu, al-Buthi dalam Kubro al-Yakiniat-al-Kauniyat menjelaskan, perintah yang berhubungan dengan keimanan, pasti memiliki sebab-sebab yang logis. Keterangan demikian mengindikasikan bahwa untuk sampai pada kesimpulan utuh tentang adanya otoritas tertinggi harus melalui penalaran logis, sistematis dan ilmiah. Contoh dalam ilmu Matematika, penyebab munculnya angka 2 pasti dimulai dengan angka 1. Analoginya, mustahil alam raya ini tercipta dari sesuatu yang ma’dûm (ketiadaan), sehingga, keberadaan musabbibul-awwal (penyebab awal) atau dzât wâjibul-wujûd (zat yang wajib ada) atas bermulanya semesta ini bersifat absolut.
Ilustrasi lain yang terdapat dalam konsep bangunan misalnya. Secara logis, bangunan yang akmal tidak mungkin dapat berdiri dengan sendirinya tanpa subjek pembangunnya. Rumusan bangunan tersebut menjadi salah satu kaidah berpikir rasional sesuai dengan logika yang sehat. Jika hal yang remeh seperti bangunan saja memiliki metodelogi berfikir yang demikian, apalagi konsep alam raya ini. Alam raya dengan seluruh isi dan sistem yang sempurna di dalamnya, mustahil tiba-tiba menjadi wujud atau bermula dari ketiadaan kecuali ada subjek penciptanya, yakni Allah SWT.
Kemudian, ayat al-Qur-an juga banyak menguraikan tentang keyakinan yang mesti beralaskan dengan ilmu pengetahuan. Al-Quran surah Muhammad ayat 47 misalnya, “Ketahuilah (Nabi Muhammad) bahwa tidak ada Tuhan (yang patut disembah) selain Allah”. Dalam ayat ini, sangat jelas bahwa yang dituntut pertama kali adalah “ketahuilah” bukan “yakinilah”. Artinya, untuk sampai pada kesimpulan tidak ada Tuhan selain Allah, Islam mengharuskan kepada umatnya untuk menggunakan ilmu pengetahuan, sehingga konklusi hanya Allah yang wajib diimani itu bersifat logis.
Dari pemahaman konsep ilmiah di atas, kita mengetahui Islam sejak dahulu telah memerintahkan umatnya untuk selalu bersikap objektif dalam meyakini dan membenarkan sesuatu. Hal ini cukup senapas dengan solusi yang ditawarkan oleh Russel dalam menghadapi dogma, yaitu tidak mensahihkan keyakinan atau sesuatu kecuali dengan dalil yang kuat. Penanggulangan demikian juga selaras dengan kutipan al-Buthi In Kunta Nâqilan fa-ash-Shihhah aw Mudda’iyan fa ad-Dalîl (jika kamu mengutip sesuatu, maka verifikasi kesahihannya dan jika kamu mengklaim sesuatu, maka tunjukkan argumennya).
Secara otomatis, apa yang diajukan Russel sebagai pondasi dasar melawan dogma telah terakomodir dalam butiran-butiran pengetahuan Islam. Artinya, jika agama memang benar menjadi bagian sekaligus faktor penghalang kebebasan berpikir, maka mengapa pada saat yang sama Islam juga menganjurkan untuk bersikap kritis dan skeptis. Premis-premis ini menyebabkan kontradiksi dalam dua pemahaman yang menitahkan untuk menyakini sesuatu dengan bukti dan tanpa bukti. Padahal dalam logika klasik, dua hal yang bertentangan mustahil untuk terhimpun dan terangkat.
Walakhir, kita bisa menyimpulkan bahwa konsep yang termuat dalam agama Islam, baik berupa Ketuhanan, keimanan dan keyakinan itu berbeda dengan lainnya. Islam memberikan keleluasaan dalam berpikir untuk merenungkan semua yang ada di dalam semesta. Skema yang seperti ini siap diuji secara argumentatif melalui peninjauan dan penyelidikan bebas sesuai asas ilmu pengetahuan. Dengan demikian, Islam benar-benar nyata sebagai agama yang rasional dan ilmiah. Lantas, masih kah kita menyebut agama ini sebuah dogma?