Menyoal Budaya Amplop dalam Islam

Menyoal Budaya Amplop dalam Islam

 Oleh : Aldi Susanto

Pesta pernikahan merupakan salah satu budaya masyarakat dunia, tak terkecuali Indonesia. Biasanya masyarakat Indonesia memberikan amplop yang berisikan uang dengan nominal yang bermacam-macam. Tradisi ini sudah ada sejak zaman dahulu kala, lebih dari 1400 tahun yang lalu, seseorang paling mulia di muka bumi ini telah mengadakan pesta pernikahan yang besar di hari pernikahannya dengan Siti Khadijah.

Praktik pemberian amplop yang berisikan uang tunai tidak hanya di pesta pernikahan saja, amplop juga diberikan di hari-hari besar, seperti hari raya Idul Fitri, hari raya Imlek dan lainnya. Jauh sebelum hari pernikahan, pemilik acara akan menyebarkan undangan kepada sanak famili, kerabat dekat maupun jauh, teman-teman, kolega dan kadang siapapun yang pernah berinteraksi dengannya. Menghadiahkan amplop yang berisikan uang  kepada penyelenggara pesta sudah menjadi tradisi masyarakat Indonesia sejak lama.

Lalu, apa yang salah dari hal itu? Sebenarnya, tidak ada masalah prihal memberikan amplop, yang jadi masalah adalah niat mereka. Dari sisi pemilik acara: mengundang orang sebanyak mungkin berharap mendapat uang lenih banyak agar balik modal. Dari sisi orang yang diundang: datang dengan harapan suatu saat ia diberi amplop juga ketika membuat walimah.

Memang tidak semua orang mempunyai niat seperti di atas, terdapat sekian banyak orang yang ikhlas memberikan uangnya sebagai sebuah bentuk apresiasi, kasih sayang dan rasa terima kasih kepada penyelenggara pesta pernikahan  atas undangan yang telah disampaikan, tapi tidak sedikit pula orang yang memang mempunyai niat mengambil utung sebanyak mungkin dari acara resepsi pernikahan seperti itu. Ini menjadi masalah bagi seseorang yang sedang terpuruk secara ekonomi, masalah bagi mereka adalah antara datang atau tidak, jika datang artinya ia memperburuk kondisi ekonomi dirinya dan keluarganya. Jika tidak datang pasti ia segan kepada pemilik acara. Yang perlu diingat adalah hukum menghadiri resepsi pernikahan adalah wajib dan tidak punya uang untuk diberikan kepada pemilik acara bukanlah udzhur syar’i, sehingga tidak menggugurkan kewajibannya untuk hadir.

Meskipun seseorang memberikan amplop dengan ikhlas, tak menutup kemungkinan adanya masalah lain. Sebagai contohnya saja, dengan dirinya memberikan amplop, artinya dia membuat siklus yang akan terus berputar. Kenapa demikian? Karena secara tidak sengaja ia membuat orang lain di sekitarnya ikut memberikan amplop karena segan,  sikus ini pun terus berkelanjutan, dan masalah pun terjadi ketika ekonomi seseorang berada di tingkat ekonomi rendah. Bukan hanya itu, ketika tradisi ini terus berlanjut dengan segala problemnya, maka hal ini juga bisa menggangu kesakralan nikah, apalagi sampai berhutang hanya karena ingin resepsi pernikahan ditampakan begitu mewah dengan harapan orang-orang menyisihkan uang untuk dirinya.

Tradisi bukanlah suatu hal yang mutlak sehingga tidak bisa divonis sebagai sesuatu yang baik ataupun buruk. Jika suatu tradisi dapat merugikan orang lain tentu hal tersebut dinilai sebagai hal yang buruk, sebaliknya, jika suatu tradisi dinilai bisa memberikan manfaat kepada orang lain maka hal tersebut bisa dikatakan tradisi yang baik.  Di dalam agama Islam sendiri, jika suatu tradisi masyarakat sebelumnya tidak menyimpang dari pemhaman yang benar dan memperjuangkan semangat yang sama maka tradisi tersebut akan diadopsi, seperti penghormatan terhadap empat bulan Haram (Asyhurul Hurum). Jika suatu tradisi bertentangan dengan Islam maka tradisi tersebut dihapus atau dimodifikasi, seperti tradisi minum khomer yang telah dihapus, tradisi Haji yang sudah ada sejak dahulu kala, kemudian dimodifikasi. Salah satu bentuk modifikasinya adalah perubahan tempat. Pada priode pra-Islam, haji hanya dilaksanakan di sekeliling Ka’bah karena mereka menganggap tempat yang sakral hanya berpusat di Ka’bah. Sementara haji setelah kedatangan Islam melebar ke tempat-tempat lain, seperti Mina, Arafah, Muzdalifah.

Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, jika ditilik dari segi praktik pemberi ataupun penerima amplop, tidak ada masalah akan hal tersebut, praktik tersebut bisa dikatakan sebagai sedekah kepeda penyelenggara acara. Problem baru muncul ketika kedua orang yang bertransaksi saling mengharapkan sesuatu yang bukan pada tempatnya, yakni ketika pemberi amplop mengharapkan imbalan atas amplopnya di suatu saat nanti, dan penerima amplop mengharapkan amplop dari orang yang sebelumnya pernah ia berikan amplop. Menjadikan pesta pernikahan sebagai tempat untuk mencari amplop yang berisikan uang tunai bisa merusak kesakralan pernikahan itu sendiri,  alangkah baiknya bagi pemberi maupun penerima tidak mengharapkan sesuatu yang bukan pada tempatnya. Pemberi memberikan amplopnya dengan ikhlas dan tidak mengharapkan imbalan di suatu hari nanti, penyelenggara acara menerima amplop dengan lapang dada tanpa mengharapkan batas minimal dari uang yang diberikan.

Seseorang tidak bisa menghapuskan tradisi walimah hanya karena ada tradisi cacat di dalamnya, yaitu amplop. Selain karena sudah melekat pada setiap fitrah individu di seluruh dunia, pesta pernikahan juga termasuk perintah sunah dalam ajaran Islam. Tradisi ini juga tidak bisa dihapuskan secara spontan, melainkan dengan disuarakan secara pelan dan halus agar tidak timbul stigma-stigma sosial di masyarakat. Sebagai contoh, dalam pelarangan khomer, setidaknya ada 4 tahap sebelum khomer diharamkan secara penuh. Tahap pertama berupa sindiran, kemudian cercaan, disusul oleh larangan saat sebelum melaksanakan salat, dan terakhir diharamkan sepenuhnya

Tidak menutup kemungkinan tradisi ini bisa diteruskan tanpa ada masalah, seperti tamu undangan hanya dikhususkan untuk beberapa kerabat dekat dan tetangga saja, tak perlu mengundang seluruh kerabat jauh ataupun teman jauh. Dengan begini, penyelenggara acara dan tamu undangan bisa berbincang santai, tidak ada raut muka masam, pesta menjadi ajang silaturahmi bagi seluruh tamu yang hadir, dan kesakralan nikah pun ikut terjaga.  Hal-hal yang berbau niat memanglah tidak bisa tercium indra manusia, tetapi bisa dirasakan oleh pelakunya. Sehingga setiap individu bertanggung jawab atas dirinya masing-masing. Dengan demikian, problem pada tradisi pemberian amplop di pesta pernikahan bisa dikatakan sebagai sesuatu yang di luar tradisi tersebut (Amrun Khoriji). Tradisi macam ini bisa dihapuskan secara perlahan ataupun dimodifikasi dengan cara yang lebih baik, seperti mengundang khusus orang-orang terdekat penyelenggara acara.