Oleh Muhammad Alif Haykal
Di tengah kemajuan teknologi yang merambah hampir semua aspek kehidupan, kajian humaniora
sering dianggap tidak relevan dan ketinggalan zaman. Di universitas-universitas, banyak yang
mempertanyakan: apa guna belajar filsafat, sastra, atau sejarah di dunia yang semakin didominasi
oleh kecerdasan buatan, data besar, dan sains terapan? Bukankah dunia modern menuntut
efisiensi dan hasil yang langsung berdampak nyata?
Namun, jika kita melihat lebih dalam, justru humaniora lah yang menjadi pemandu bagi manusia
untuk memahami esensi keberadaan mereka. Di tengah derasnya inovasi, manusia bukan hanya
membutuhkan solusi teknis tetapi juga pemahaman yang mendalam tentang dirinya sendiri,
masyarakatnya, dan nilai-nilai yang membentuknya. Humaniora hadir untuk mengajarkan kita
tentang kebijaksanaan, refleksi, dan makna di balik setiap langkah kemajuan.
Humaniora: Fondasi Keberadaban Manusia
Humaniora adalah disiplin ilmu yang menyoroti sisi manusia: sejarah, budaya, seni, etika, agama,
dan filsafat. Di sini, pertanyaan-pertanyaan besar tentang hidup, seperti “Apa makna
keberadaan?”, “Bagaimana keadilan diterapkan?” dan “Apa yang membuat kehidupan
bermakna?” mendapatkan tempatnya. Dalam Al-Qur’an, manusia diberi tugas untuk menjadi
khalifah di bumi (QS Al-Baqarah: 30). Tugas ini bukan sekadar tentang pengelolaan sumber daya
alam, tetapi juga memastikan nilai-nilai moral, etika, dan kebijaksanaan tetap hidup di tengah
peradaban.
“Dan tidaklah Kami menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya
dengan sia-sia…” (QS. Shad: 27). Ayat ini menegaskan bahwa segala sesuatu di alam semesta
memiliki makna, dan tugas manusia adalah merenungkan dan memahami makna tersebut.
Humaniora, dengan fokusnya pada refleksi, adalah salah satu alat terbaik untuk memenuhi tugas
ini.
Relevansi di Era Teknologi
Kemajuan teknologi memang membawa kemudahan, tetapi juga tantangan etis yang kompleks.
Misalnya, bagaimana kita menghadapi masalah privasi di era media sosial? Apa batasan yang etis
untuk penggunaan kecerdasan buatan dalam pekerjaan dan kehidupan sehari-hari? Bagaimana
kita memastikan bahwa inovasi tidak mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan? Pertanyaan-
pertanyaan ini tidak dapat dijawab hanya dengan logika matematis atau pendekatan saintifik.
Dibutuhkan pendekatan humaniora untuk memahami dimensi etika, budaya, dan nilai-nilai
universal di baliknya.
Sebagai contoh, filsafat etika memberikan landasan untuk membahas isu-isu seperti hak digital
dan keadilan sosial. Literatur dan seni membantu kita memahami emosi manusia di tengah
perubahan yang cepat, sementara sejarah memberikan pelajaran tentang bagaimana masyarakat di
masa lalu menghadapi tantangan serupa.
“…Bertanyalah kepada orang yang berilmu jika kamu tidak mengetahui.” (QS. An-Nahl:
43). Dalam konteks ini, ilmu humaniora berfungsi sebagai pengingat bahwa ilmu tidak hanya
mencakup sains eksak, tetapi juga seni bertanya, memahami, dan menafsirkan kehidupan.
Kontribusi Humaniora dalam Membangun Peradaban
Dalam sejarah Islam, humaniora menjadi dasar pengembangan ilmu pengetahuan. Filsafat Islam
yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh seperti Al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Rushd tidak hanya
menjadi jembatan antara filsafat Yunani dan dunia Barat, tetapi juga menempatkan nilai-nilai
spiritual dan etika dalam inti diskusi ilmiah. Puisi Rumi, misalnya, hingga hari ini masih menjadi
pengingat tentang pentingnya refleksi spiritual dalam memahami kehidupan.
Al-Qur’an juga sering menyerukan manusia untuk berpikir, merenung, dan menggali hikmah dari
sejarah. Ayat berikut misalnya, menegaskan pentingnya refleksi atas masa lalu:
“Maka berjalanlah di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang
sebelum mereka…” (QS. Ar-Rum: 42).
Pesan ini menunjukkan bahwa memahami sejarah dan nilai-nilai kemanusiaan adalah bagian
integral dari tugas manusia.
Humaniora sebagai Penyeimbang
Humaniora menawarkan penyeimbang di tengah kecenderungan modern yang terlalu teknis.
Ketika dunia berlari kencang menuju inovasi, humaniora mengingatkan kita untuk berhenti
sejenak dan bertanya: “Ke mana kita pergi? Untuk apa semua ini?” Dalam kata-kata Albert
Einstein, “Ilmu tanpa agama pincang, agama tanpa ilmu buta.” Meski Einstein berbicara
dalam konteks agama, analoginya bisa diperluas ke humaniora—ilmu pengetahuan tanpa dimensi
kemanusiaan akan kehilangan arah.
Kesimpulan: Menjaga Humaniora Tetap Hidup
Di tengah gelombang perubahan yang tiada henti, humaniora adalah jangkar yang menjaga kita
tetap manusia. Ia mengajarkan kita untuk memahami diri sendiri, menghormati nilai-nilai budaya,
dan menghadapi tantangan moral dengan bijaksana.
Maka, sebelum kita terburu-buru mengesampingkan humaniora sebagai sesuatu yang usang, mari
kita ingat: teknologi mungkin membantu kita bergerak lebih cepat, tetapi humaniora membantu
kita memahami ke mana kita harus pergi. Karena pada akhirnya, manusia bukan hanya makhluk
yang menciptakan, tetapi juga yang merenung, memahami, dan mencari makna di balik semua
ciptaannya.