Sekilas Hidup Sultan Mahmud Badaruddin II

Sekilas Hidup Sultan Mahmud Badaruddin II

Oleh: Aulia

Sultan Mahmud Badaruddin II merupakan salah satu pahlawan nasional yang berasal dari Sumtera Selatan, tepatnya Palembang. Ia juga merupakan seorang sultan kerajaan Palembang yang ke-8. Sultan Mahmud Badaruddin II  lahir pada 23 November 1767 di Palembang dari pasangan Sultan Muhammad Bahauddin bin Sultan Ahmad Najamuddin dan Ratu Agung bin Datuk Murni bin Abdullah Al-Haddadi. 

 Sultan Mahmud Badaruddin II memiliki nama kecil Raden Hasan Pangeran Ratu. Setelah ia naik tahta, namanya kemudian berubah menjadi Sultan Mahmud Badaruddin II. Pada tahun 1804, Sultan Mahmud Badaruddin II mulai memimpin kesultanan Palembang Darussalam yang merupakan kerajaan Melayu Islam menggantikan sang ayah sebagai sultan sebelumya. Sultan Mahmud Badaruddin 11 di kenal sebagai pemimin yang taat beragama dan bijaksana.

Sebagai penerus tahta kesultanan, Sultan Mahmud Badaruddin 11 telah mendapat pendidikan sedari kecil.  Melalui bantuan Ayah dan kakeknya, Sultan kecil telah didiik dan diajari tentang tata kenegaraan. Selain itu, Sultan Mahmud Badaruddin II juga menimba ilmu agama Islam dari sejumlah ulama Palembang pada masa itu seperti, Syekh Abdus Somad, Syekh Muhammad Muhyiddin, Syekh Ahmad, dan Sayyid Abdurrahman Al-Idrus. Berkat keuletan Sultan Mahmud Badaruddin 11 dalam belajar agama, kesultanan Palembang pada masa itu menjadi pusat studi Islam.

Berkat dari semua pendidikan yang Sultan Mahmud Badaruddin II lalui, ia tumbuh menjadi sosok yang mahir di segala bidang. Hal ini terbukti pada masa kepemimpinannya, dimana ia sukses memajukan bidang agama, pelayaran, pertanian, maupun diplomatik  dalam melanjutkan kepemimpinan ayahnya. Karena kemajuan  kesultanan Palembang, banyak pihak yang menginginkan untuk mengusai daerah tersebut. Sehingga pada masa Sultan Mahmud Badaruddin II, beberapa kali pertempuran melawan Belanda dan Inggris terjadi sebab mereka menginginkan daerah itu.

Kehadiran kolonial Belanda dan Inggris salah satunya dipicu karena timah yang terdapat di wilayah Bangka. Dimana Bangka pada masa itu masih menjadi bagian wilayah Kesultanan Palembang. Sehingga Palembang dan sekitarnya menjadi incaran Inggris dan Belanda. Para penjajah awal mulanya berdalih untuk menjalin hubungan dagang, namun yang sebenarnya adalah mereka ingin menguasai Palembang.

Awal mula hubunagan dagang itu, dengan dibangunya loji atau kantor dagang Belanda di sungai Aur, Palembang. Dari pihak Inggris, yaitu Raffles sebagai pemimpin Inggris berusaha membujuk Sultan Mahmud Badarruddin II untuk mengusir Belanda dari Palembang. Raffles mengirim permintaan itu melalaui sebuah surat yang ditujukan kepada Sultan ke-8 ini. Sultan Mahmud Badaruddin II dalam suratnya mengatakan bahwa Palembang tidak  ingin lagi terlibat dalam konflik antara Inggris dan belanda. Ia juga menulis bahwa tidak berniat untuk bekerja sama dengan Belanda.

 

Namun, pada akhrinya Palembang menjalin kerja sama dengan Inggris, karena posisi Palembang lebih diuntungkan. Hingga terjadi peristiwa pembumihangusan dan pembantaian di loji Sungai Aur. Belanda pun menuduh Inggris yang memprovokasi Palembang untuk mengusir mereka. Sebaliknya, Inggris  justru lepas tangan dan menuduh Sultan Mahmud Badaruddin II yang  berniat melakukan hal tersebut.

Dalam kondisi terdesak masa itu, Raffles tetap berharap Sultan Mahmud Badaruddi II ingin berunding dengan kompensasi menyerahkan Bangka. Permintaan tersebut langsung ditolak oleh Sultan Mahmud Badaruddin. Akibat dari penolakan tersebut, Inggris mengirim armadanya di bawah kepemimpianan Gillespie yang menyebabkan Palembang jatuh ke tangan Inggris. Karena hal tersebut, Sultan Mahmud Badaruddin II beserta pengikutnya terpaksa meninggalkan kesultanan Palembang dan hijrah kepedalaman di Muara Rawas.

Kendati demikian, perjuangan Sultan Mahmud Badaruddin II tidak samapai di sana. Meskipun Palembang telah jatuh  ke tangan Inggris, Belanda tetap berusaha merebut Pelembang. Peristiwa ini ditandai dengan perjanjian London antara Belanda dan Inggris pada 13 Agustus 1814. Dalam perjanjian ini, Inggris terpaksa harus menyerahkan Palembang kepada Belanda. Belanda kemudian mengangkat Herman Warner Muntinghe sebagai komisaris di Palembang.

Sebagai komisaris baru, Muntinghe mulai menjajah pedalaman wilayah kesultanan Palembang termasuk Muara Rawas. Ia berdalih bahwa penjajahan merupakan bentuk inventarisasi wilayah. Alasan demikian tentu sangat menguji kesabaran Sultan Mahmud Badruddin II. Kemudian sekembalinya Muntinghe, ia memaksa kesultanan Palembang menyerahkan putra mahkota sebagai jaminan kesetiaan kesultanan Palembang terhadap Belanda.

Kondisi demikian lantas membuat Sultan Mahmud Badaruddin II merasa marah di tambah adanya seorang ulama yang di tembak mati oleh Belanda tanpa alasan yang jelas. Sehingga terjadilah pertempuran antara Sultan Mahmud Badaruddi II beserta pasukannya melawan Belanda. Perang tersebut dinamakan perang Menteng karena aksi perlawanan untuk mengusir pasukan Muntinghe (Belanda). Pada pertempuran pertama Belanda mengalami kekalahan, mereka pun tidak terima, sehingga mereka melakukan penyerangan kembali dengan kekuatan berlipat ganda.

Pada saat itu, Sultan Mahmud Badaruddin II telah melakukan persiapan bila ada serangan balik dari Belanda. Sehingga pada 21 Oktober 1819, pertempuran kedua terjadi di Sungai Musi, dengan hasil Belanda mengalami kekalahan lagi. Kemudian Sultan Mahmud Badaruddin II mengangkat putranya yaitu Sultan Ahmad Namjuddin III menjadi sultan di kesultanan Palembang. Hal ini dilakukan agar sultan Mahmud Badaruddin II bisa fokus memimpin kesultanan Palembang untuk mengusir Belanda.

Pada 22 Mei 1821, Belanda dengan armadanya sampai di Sungai Musi yang langsung disambut dengan tembakan meriam dari pasukan Sultan Mahmud Badaruddin II. Hal tersebut membuat mereka kewalahan dan memilih mundur. Akan tetapi, ternyata itu adalah taktik dari pihak Belanda untuk mengatur kembali strategi penyerangan. Pada 24 Juni 1821 dini hari, tiba-tiba Belanda memberikan serangan yang membuat pasukan Palembang mengalami kekalahan.

 

Dampak dari perang Menteng, sekitar 101 orang dari pihak Belanda tewas, sementara dari pihak Palembang tidak diketahui. Sultan Mahmud Badaruddin II beserta kelurganya, termasuk  Sultan Ahmad Namjuddin III ditangkap dan diasingkan ke Ternate hingga akhir hayatnya. Sultan Mahmud Baharuddin II menghabiskan selama 31 tahun di Ternate, ia tidak pernah memohon untuk dikembalikan ke asalnya. Pembebasan tersebut akan dikabulkan oleh Belanda jika ia mau tunduk terhadap Belanda.

Sultan Mahmud Badaruddin II wafat pada 26 November 1852. Ia merupakan salah satu pahlwan nasional karena telah berjasa melawan kolonial Belanda dan Inggris yang menduduki kota Palembang. Karena jasanya, namanya diabadikan menjadi nama bandara Internasional Palembang dan juga gambar dirinya tercantum dalam mata uang dengan nominal 10.000 cetakan tahun 2005.